Selasa, 02 Oktober 2012

Empat SOP Pemasyarakatan Jadi Prioritas Penyempurnaan

Empat standar prosedur operasional terkait lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, menjadi prioritas pembahasan di Kementerian Hukum dan HAM, yakni administrasi dan koordinasi, pemberian hak narapidana, pengawasan, dan peraturan Menteri Hukum dan HAM yang terkait disiplin, wistle blower dan assessment.
 
Di antara hal yang diatur dalam SOP yang dibenahi adalah kriteria 'kelakuan baik' sebagai syarat remisi sampai pengurangan hukuman, dan whistle blower system untuk pelaporan dugaan penyimpangan pelaksanaan tugas. "Dalam masalah layanan, pemasyarakatan menjadi salah satu yang paling disorot masyarakat," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Pembenahan, ujar dia, butuh kapasitas dan integritas, yang keduanya harus berjalan seiring. Kapasitas membutuhkan kemampuan intelektual, sementara integritas terkait masalah moral.
Khusus untuk lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, Denny menyiapkan satu 'jargon' khusus. Yaitu Anti-Halinar, kependekan dari anti HP (telepon genggam), pungli (pungutan liar), dan narkoba. "Dobel akronim, karena masing-masing sudah singkatan," aku dia.
Rekrutmen CPNS yang bebas setoran dan pungutan, kata Denny, adalah bagian dari mewujudkan semangat anti-halinar di ditjen pemasyarakatan. Karena, mayoritas CPNS yang akan diterima tahun ini akan mengisi formasi di direktorat tersebut. Penyiapan CPNS yang diterima, tambah dia, juga akan diperkuat.
SOP Prioritas
SOP terkait administrasi dan koordinasi menjadi prioritas pembahasan dalam semiloka di Medan ini, salah satunya berhubungan dengan pelepasan tahanan demi hukum. Peraturan Menteri Hukum dan HAM, maupun KUHAP, sudah jelas mengatur mengenai hal ini. Kenyataannya, banyak tahanan belum dilepaskan, sekalipun tak ada surat perpanjangan penahanan dari instansi yang berwenang. "Laksanakan dengan tegas dan jangan takut," kata Denny. Namun demikian, untuk lebih memperkuat, Kementerian Hukum dan HAM akan menegaskan lagi perihal pengeluaran tahanan demi hokum ini dengan SOP.
Sementara soal hak para narapidana, Denny menyoroti masalah kriteria kelakuan baik. Lagi-lagi, hal tersebut berhubungan dengan jargon anti-halinar. Menurut dia, tidak tepat bila kelakuan baik dan catatan dalam register F hanya terkait terlibat atau tidak di insiden fisik seperti perkelahian. Sementara, kepemilikan HP, fasilitas berlebihan, hingga narkoba, tidak masuk kriteria pelanggaran yang tercatat di Register F. Tercatat melakukan pelanggaran dalam Register F, akan menghilangkan kesempatan narapidana mendapatkan hak peringanan atau pengurangan hukuman.
Menurut Denny, kepemilikan HP, pungli, dan kasus narkoba punya korelasi erat. Kasus narkoba yang terungkap dari balik penjara, pasti menemukan pelanggaran fasilitas HP, peralatan komunikasi lain, yang juga bisa terjadi karena ada pungli. "Bagaimana laptop bisa masuk ke sana, kalau bukan karena ada pungli ?" Tanya dia.
Sementara soal whistle blower, ujar Denny, SOP harus sangat jelas. "Masuk ranah pengawasan, dengan best practices di KPK dan Kementerian Keuangan," sebut dia. Sistem pelaporan penyimpangan tugas, harus berbasis satu kesatuan sistem, tidak menggunakan pendekatan personal. Pelapor yang dapat memberikan bukti valid, harus yakin tak bakal mendapat tekanan, bahkan seharusnya mendapatkan penghargaan.
Denny berkeyakinan, bila semangat anti-halinar di pemasyarakatan terwujud, maka layanan pun akan membaik dengan sendirinya. Semangat anti-halinar pun adalah implementasi semangat anti-korupsi.
Whistle Blower
Staf Ahli Kepala UKP4, Yunus Husein, mengatakan whistle blower bukanlah pelaku kejahatan. Sementara orang yang terlibat kejahatan tapi memberikan laporan, disebut justice collaborator. Sejauh ini, sebut dia, LPSK hanya punya satu ayat di pasal 10 UU-nya yang mengatur soal pelapor ini.
Terkait sistem whistle blower, Yunus mengingatkan faktor kerahasiaan adalah poin kunci. Dia pun menyarankan unit khusus dibangun untuk menerima dan menindaklanjuti laporan, sekaligus melindungi pelapor dalam mekanisme ini.
"Saran saya, unit tidak di bawah Ditjen Pemasyarakatan, untuk menghindari konflik kepentingan," kata Yunus. Kerahasiaan dan perlindungan pelapor harus dipastikan ada, tak boleh ada kebocoran yang dapat mengancam keselamatan pelapor. Namun, tambah dia, tindak lanjut atas laporan juga menentukan akan terus ada atau tidaknya laporan masuk.
Seminar dan semiloka juga menghadirkan narasumber lain. Yaitu Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala; dan Plt Kepala Biro Hukum KPK, Rooseno. Pelaporan berbasis whistle blower yang digarap melalui mekanisme online, adalah salah satu contoh praktik di KPK yang dapat menjadi acuan.
Adrianus menegaskan bahwa di Lapas ada situasi khusus, karenanya SOP penting diterapkan namun terbatas pada aspek substansi. "Sedangkan aspek teknis, tentu tidak bisa dilepaskan dari kondisi yang dihadapi," katanya. Pakar kriminologi ini mengatakan bahwa aspek fleksibilitas, kreativitas, inisiatif dan nilai lokal perlu diadopsi dalam menangani kondisi khusus yang ada di tiap Lapas. "Karenanya, kegiatan membuat SOP teknis menjadi 'never ending story'," tandasnya. Di atas segalanya, lanjut Adrianus, integritas merupakan kata kunci bagi segalanya. Ia berpesan agar petugas pemasyrakatan jangan hanya jadi klerik, tapi bekerjalah sebagai seorang profesional. "Integritas terletak pada kata hati, karenanya jangan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hati nurani," tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Plt Kepala Biro Hukum KPK, Rooseno, berpesan agar Kementerian Hukum dan HAM jangan memberikan jabatan kepada orang yang berpotensi menjadi koruptor. "Sesuai kata pepatah, ikan busuk dari kepalanya, maka jika pimpinan suatu satuan kerja itu korup maka rusaklah keseluruhan ke bawah," ungkapnya. Rooseno meyakini bahwa berbagai upaya pembenahan SOP seperti yang dilakukan hari ini dapat memperbaiki kinerja Kementerian Hukum dan HAM. (Biro Humas dan KLN)

Syarat ‘Kelakuan Baik’ Untuk Remisi Narapidana Dirumuskan Ulang

Kementerian Hukum dan HAM merumuskan indikator yang lebih terukur untuk kriteria 'berkelakuan baik', yang menjadi salah satu dasar pemberian remisi hingga pembebasan bersyarat narapidana. Perumusan indikator ini dilakukan dalam 'Semiloka Sosialisasi Standar Pelaksanaan Tugas di Lapas dan Rutan'.

 

"Untuk memberikan ukuran yang lebih terukur dan berkeadilan, dalam memberikan hak narapidana," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Selama ini, 'berkelakuan baik' hanya diukur dari fakta semacam pernah atau tidaknya narapidana dimasukkan ke sel isolasi. Bila tidak pernah, maka satu poin 'berkelakuan baik' sudah dikantongi.
Sementara, masuk sel isolasi atau tidak, kerap kali ditentukan dari kejadian yang melibatkan aktivitas fisik. Seperti perkelahian. "Mana ada narapidana korupsi berkelahi ? " ujar Denny memberikan contoh celah 'tak fair' dalam pengukuran kriteria 'berkelakuan baik'.
Syarat narapidana mendapatkan hak karena 'tidak tercatat dalam Register F', juga akan dipertajam. Catatan di Register F akan menghapus hak narapidana mendapatkan remisi ataupun keringanan hukuman lain, selama rentang waktu tertentu. Penajaman soal catatan kelakuan selama menjalani hukuman tersebut, antara lain dilakukan dengan memilah kriteria dan jenis pelanggaran yang masuk kategori pelanggaran untuk 'Register F'.
Whistle Blower
Selain isu soal indikator peringanan hukuman narapidana, semiloka Kementerian Hukum dan HAM juga membahas beragam standar prosedur operasional di instansi tersebut. Salah satunya adalah pembahasan mekanisme 'whistle blower' di lingkungan kementerian.
Rujukan kajian mekanisme 'whistle blower' antara lain adalah praktik di Kementerian Keuangan. Langkah di kementerian tersebut, yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan, dinilai cukup efektif menembus lingkaran mafia pajak.
Prinsip dari mekanisme whistle blower adalah pelaporan dari sesama pegawai atau dari pihak yang berurusan dengan pegawai, mengenai penyimpangan tugas. Terutama terkait kasus korupsi.
Penyempurnaan SOP
Semiloka ini merupakan amanat Instruksi Presiden nomor 17/2011, tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Kementerian Hukum dan HAM, mendapat amanat untuk menyusun dan menyempurnakan beberapa Standard Operating Procedure (SOP). Seperti, SOP Pemberian Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, SOP Pengawasan Internal dan Eksternal, SOP Perlindungan Whistle Blower, dan SOP Pelayanan Informasi Pemasyarakatan.
Pembahasan dan perumusan SOP dalam semiloka ini juga merujuk laporan masyarakat dan temuan kementerian, atas praktik yang berjalan di lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan. "Harapannya, ada diseminasi dan pemahaman yang sama, soal SOP di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan," kata Denny.
Selain soal indikator berkelakuan baik, sebut Denny, standardisasi soal fasilitas hunian di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, juga akan dipertegas. Selain untuk menghapus perbedaan di antara terpidana korupsi dengan terpidana kasus pencurian, misalnya, pengaturan soal fasilitas terkait pula dengan pembiayaan instansi pemasyarakatan tersebut.
Denny menambahkan, semiloka juga akan menegaskan ulang SOP terkait tahanan yang sudah overstayed. Yaitu mereka yang sudah habis masa tahanan di setiap level perkara, tetapi tidak juga ada surat permohonan perpanjangan penahanan dari instansi yang berwenang. "Harus dibebaskan demi hukum, kalau memang tak ada surat perpanjangan masa tahanan," tegas Denny.
Agenda
Semiloka selama tiga hari dibuka Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Sihabudin, akan menjadi pembicara kunci sebelum kegiatan dibuka.
Akan hadir pula beberapa narasumber lain dalam kegiatan semiloka, seperti Staf Ahli Kepala UKP4, Yunus Husein. Bersama mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ini, dijadwalkan hadir pula kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala. Pembicara lain yang juga dijadwalkan hadir, adalah Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Warih Sadono.

Sabtu, 08 September 2012

No Pungli, No Cry

Oleh:
Denny Indrayana ;  Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM

Masih ingat lagu reggae Bob Marley, No Woman, No Cry – izinkan kali ini saya menggunakannya sebagai penanda bagi gerakan maha penting yang lain: No pungli, mengharamkan pungutan liar.
Pungli adalah salah satu bentuk paling klasik dari korupsi. Pungli hampir setali tiga uang dengan suap-menyuap. Perbedaannya, pada pungli pihak yang meminta tanpa malu-malu lebih aktif, lebih memaksa, lebih memungut. Sedangkan pada suap-menyuap, pihak yang memberi maupun menerima biasanya sama-sama aktif. Pada Kementerian Hukum dan HAM, upaya untuk memberantas suap dan pungli tak pernah berhenti dilakukan. Namun, harus diakui zona anti pungli masih perlu terus diperjuangkan secara lebih konsisten.

Khusus untuk pungli, masih ada dan terjadi pada sektor yang terkait dengan pelayanan publik. Paling tidak ada empat unit utama Kemenkumham yang masih rawan dengan praktik pungli: AHU (administrasi hukum umum), imigrasi, pemasyarakatan, dan HAKI (hak atas kekayaan intelektual). Perbaikan pelayanan di keempat unit utama tersebut telah terus dilakukan. Perbaikan kapasitas SDM (sumber daya manusia), pembenahan sistem termasuk pemanfaatan teknologi, serta peningkatan sistem pengawasan terus dilakukan. Maka, ruang penyimpangan, termasuk praktik pungli sebenarnya semakin sempit. Tetapi, di tengah-tengah ruang sempit itulah, pelaku pungli masih terus bertahan.


Membuat setiap upaya perbaikan yang dilakukan menjadi terkesan sia-sia. Nyaris setiap hari saya menerima pengaduan, utamanya lewat SMS dan Twitter, bagaimana pelayanan publik yang masih dibajak oleh praktik pungli. Maka itu, Menkumham Amir Syamsuddin dan saya, tidak pernah berhenti, terus berpikir, terus berikhtiar memberantas pungli. Arahan dan contoh terus kami berikan. Langkah-langkah awal Menkumham, misalnya, adalah melaporkan harta kekayaannya ke KPK dan mengeluarkan perintah agar tidak berlebihan memberikan pelayanan kepada kami—utamanya jika sedang melakukan kunjungan ke daerah.


Mungkin dianggap kecil, tetapi kebiasaan memberikan pelayanan akomodasi termasuk jamuan makan kepada kami—atau pejabat tinggi kementerian yang lain memang harus dihilangkan. Bukan saja karena pelayanan dan jamuan demikian tidak perlu, melainkan kebiasaan itu menjadi pintu masuk penyimpangan yang keliru. Anggaran pelayanan seperti itu tidak tersedia sehingga mengadakannya menyebabkan “akrobat” harus dilakukan. Muncullah upaya pengumpulan dana, mulai pemotongan honor atau gaji pegawai sampai upaya pembenaran pungli untuk dana operasionalisasi jamuan tersebut.


Maka itu, kepada semua kanwil dan unit kerja selalu kami ulangi, tidak boleh lagi memberikan jamuan dan pelayanan demikian. Sebaliknya, tidak boleh ada lagi pejabat Kemenkumham yang meminta pelayanan yang memberatkan wilayah, memicu penyimpangan dan akhirnya menjadi alasan untuk melestarikan pungli.


Zona anti pungli pada seluruh pelayanan AHU, terutama pendaftaran perusahaan, fiducia, notaris; wilayah antipungli pada seluruh pelayanan imigrasi, terutama yang sering dikeluhkan dalam pembuatan paspor; area antipungli pada seluruh layanan pemasyarakatan mulai jual-beli ruang sel, pungli uang kunjungan, hingga pungli jual-beli remisi dan hak warga binaan lainnya; zona antipungli pada seluruh layanan HAKI utamanya pendaftaran merek, hak cipta, dan paten adalah keniscayaan. Untuk itu, praktik percaloan dalam pelayanan publik juga tidak dapat ditoleransi.


Para calo itulah yang seringkali menjadi jembatan penghubung antara oknum pemungut pungli dan masyarakat penerima layanan. Untuk terus memberantas pungli dan praktik percaloan tersebut, berikut adalah beberapa langkah perbaikan sistem yang telah, sedang, dan terus dilakukan. Pertama, sumber daya manusia terus ditingkatkan kapasitasnya. SDM yang profesional adalah salah satu kunci utama sistem antipungli. Maka itu, mekanisme kepegawaian berdasarkan
merit system terus diperbaiki. Promosi akan diberikan sebagai bentuk reward atas prestasi, sebagaimana demosi adalah bentuk punishment.
Kepada unit kerja yang masih saja ditemukan praktik pungli, pelaku dan pimpinannya akan mendapatkan hukuman. Sebaliknya, unit yang berprestasi menerapkan zero tolerance atas pungli akan mendapatkan penghargaan.
Kedua, sistem pengawasan terus dilakukan dan ditingkatkan efektivitasnya. Model pengawasan oleh Inspektorat Jenderal tentu terus dilakukan, dengan perbaikan. Di luar model pengawasan yang internal-konvensional tersebut, model pengawasan eksternal yang inovatif juga harus dilakukan. Misalnya, dalam beberapa waktu terakhir, kami memaksimalkan Twitter untuk menerima pengaduan langsung dari masyarakat.

Di tengah masyarakat Indonesia yang banyak menggunakan jejaring sosial media, pengawasan berbasis teknologi demikian bukan saja murah, melainkan tidak jarang lebih efektif. Tentu saja setiap informasi dan pengaduan melalui Twitter harus diklarifikasi. Bukti-bukti awal diperlukan sebelum suatu informasi dinyatakan sebagai fakta atas telah terjadinya pungli. Namun, dengan pengawasan melekat oleh masyarakat demikian, setiap tahapan pelayanan publik di Kemenkumham dapat langsung dikirim tanpa hambatan ke akun Twitter saya atau Kemenkumham.


Apalagi secara teknologi, praktik pungli dapat diambil fotonya dan dikirimkan pula bukti gambarnya. Dengan sistem pengawasan yang
realtime demikian, CCTV boleh jadi tidak lagi diperlukan di setiap sudut pelayanan, perannya telah tergantikan dengan mata tajam masyarakat pengguna pelayanan publik itu sendiri.
Ketiga, seiring dengan pengawasan eksternal oleh masyarakat, sistem perlindungan bagi pelapor harus terus diperbaiki. Kepada pelapor tidak boleh ada tindakan sanksi yang merugikan, tetapi justru harus diberikan penghargaan. Laporan mesti dibuka ruang untuk disampaikan secara tertutup meski bukan berarti tanpa identitas. Kejelasan pelapor tetap penting agar menghindari fitnah. Namun, kejelasan demikian harus diiringi dengan perlindungan yang maksimal. Apalagi, tidak jarang pelapor bukan hanya dari masyarakat, melainkan juga dari internal kementerian sendiri. Pelapor internal demikian tentu perlu sistem pengamanan agar jenjang kariernya tidak justru terganggu karena memberikan informasi penyimpangan antipungli.
Keempat, untuk jangka panjang, pemberantasan pungli dilakukan dengan meletakkan sistem yang lebih antipungli. Maka itu, business process di setiap pelayanan publik akan terus direviu dan diperbaiki. Misalnya, untuk pelayanan pembuatan paspor, evaluasi terus dilakukan. Tahapan-tahapan pembuatan paspor terus dikaji ulang.Tahapan yang rawan dan membuka peluang pungli terus dicari, diidentifikasi dan dicarikan solusinya.

Evaluasi
business process tersebut penting agar SOP pelayanan dari waktu ke waktu terus dapat disempurnakan. Saya memberi apresiasi kepada unit kerja yang inovatif seperti membuka layanan SMS gateway,untuk mengetahui tahapan pembuatan paspor atau drop box tanpa antrean untuk memasukkan dokumen perpanjangan paspor. Terakhir sebelum menutup kolom ini, saya ingin berbagi informasi, Kemenkumham akan membuka penerimaan CPNS yang pengumumannya akan dipublikasikan awal Juli. Untuk itu dalam banyak kesempatan memberikan pengarahan, kepada semua jajaran Kemenkumham saya sampaikan, CPNS adalah singkatan dari “calon pegawai nihil setoran”.

Singkatnya, penerimaan pegawai sipil di Kemenkumham tidak akan lagi menoleransi berbagai bentuk suap dan setoran. Penerimaan hanya berdasarkan hasil tes murni. Dengan demikian, prosesnya akan berjalan baik dan hasil seleksi pegawai yang diterima juga yang terbaik. Untuk proses penerimaan CPNS ini, kami juga mengundang partisipasi dan pengawasan langsung dari masyarakat. Untuk Indonesia yang lebih baik, lebih bersih, praktik pungli tentu harus diberangus.
No pungli, no cry. Doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia. ●

Sejarah Singkat Pemasyarakatan

Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah ditetapkan dengan suatu sistem perlakuan terhadap  pelanggar hukum di Indonesia yang dinamakan dengan Sistem Pemasyarakatan.

Konsepsi awal secara formil dimunculkan oleh DR. Sahardjo, SH Menteri Kehakiman RI pada waktu itu, pada tanggal 5 Juli 1964, pada saat penganugerahan Doktor Honoris Causa : bahwa tujuan pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita karena dihilangkan kemerdekaan bergeraknya, juga untuk bertaubat, serta mendidik menjadi orang yang berguna, yang kemudian secara singkat bahwa tujuan pidana penjara adalah PEMASYARAKATAN.
Bersama Bahrudin Suryobroto, saat diadakan Konferensi Kepenjaraan di Lembang Bandung dari 27 April s/d 7 Mei 1964, disepakati bahwa : Pemasyarakatan bukan hanya tujuan pidana penjara, melainkan juga proses yang bertujuan memulihkan kembali kesatuan hubungan kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara individu terpidana dan masyarakat, (kemudian menjadi visi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan).
Pada tahun 1956, diadakan Konferensi Besar Jawatan Kepenjaraan di Sarangan Jawa Timur, yang memunculkan pemikiran-pemikiran baru mengenai tujuan pemidanaan yaitu menjadi anggota masyarakat yang berguna, tidak mengulangi kejahatan. Kejahatan tidak dilihat dari aspek individual semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek sosial dan lingkungannya.
Konsepsi ini merupakan momentum yang membedakan filosofi, proses dan tujuan pemidanaan, di Indonesia dengan masa sebelumnya. Pada masa itu (masa penjajahan dan kemerdekaan sampai tahun 1963), filosofinya untuk : pembalasan, penjeraan dan resosialisasi.
Konsekuensi dari pemikiran-pemikiran tadi, kemudian papan-papan nama : Kepenjaraan diganti menjadi Pemasyarakatan. Perubahan-perubahan tersebut diikuti dengan perubahan-perubahan yang berorientasi Pemasyarakatan :
Pembinaan luar lembaga, pembinaan dalam lembaga, model-model formulir dan register serta keikutsertaan kongres yang diselenggarakan PBB mengenai perlakuan para narapidana.

Diperlukan lebih dari 30 tahun baru muncul Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995.
Reglemen penjara sebagai pedoman, sedangkan konsepsi yang dipakai adalah Pemasyarakatan
Sehingga ada kelemahan terutama pada bidang-bidang politik legislatif maupun eksekutif
Sistem Pemasyarakatan didukung momentum secara parsial antara lain dibidang narapidana anak, dengan dibentuknya Direktorat Bispa Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Pada perjalanan selanjutnya ada kemajuan dibidang konsepsi Pemasyarakatan mengalami kemajuan terutama pada bidang perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.


Dengan adanya Undang Undang Pemasyarakatan ini maka makin kokoh usaha-usaha untuk mewujudkan visi Sistem Pemasyarakatan, sebagai tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.

Sambutan Kepala Rutan

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah Nya, s...