Kementerian Hukum dan HAM merumuskan indikator yang lebih terukur untuk kriteria 'berkelakuan baik', yang menjadi salah satu dasar pemberian remisi hingga pembebasan bersyarat narapidana. Perumusan indikator ini dilakukan dalam 'Semiloka Sosialisasi Standar Pelaksanaan Tugas di Lapas dan Rutan'.
"Untuk memberikan ukuran yang lebih
terukur dan berkeadilan, dalam memberikan hak narapidana," kata Wakil
Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Selama ini,
'berkelakuan baik' hanya diukur dari fakta semacam pernah atau tidaknya
narapidana dimasukkan ke sel isolasi. Bila tidak pernah, maka satu poin
'berkelakuan baik' sudah dikantongi.
Sementara, masuk sel isolasi atau tidak,
kerap kali ditentukan dari kejadian yang melibatkan aktivitas fisik.
Seperti perkelahian. "Mana ada narapidana korupsi berkelahi ? " ujar
Denny memberikan contoh celah 'tak fair' dalam pengukuran kriteria
'berkelakuan baik'.
Syarat narapidana mendapatkan hak karena
'tidak tercatat dalam Register F', juga akan dipertajam. Catatan di
Register F akan menghapus hak narapidana mendapatkan remisi ataupun
keringanan hukuman lain, selama rentang waktu tertentu. Penajaman soal
catatan kelakuan selama menjalani hukuman tersebut, antara lain
dilakukan dengan memilah kriteria dan jenis pelanggaran yang masuk
kategori pelanggaran untuk 'Register F'.
Whistle Blower
Selain isu soal indikator peringanan
hukuman narapidana, semiloka Kementerian Hukum dan HAM juga membahas
beragam standar prosedur operasional di instansi tersebut. Salah satunya
adalah pembahasan mekanisme 'whistle blower' di lingkungan kementerian.
Rujukan kajian mekanisme 'whistle
blower' antara lain adalah praktik di Kementerian Keuangan. Langkah di
kementerian tersebut, yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan,
dinilai cukup efektif menembus lingkaran mafia pajak.
Prinsip dari mekanisme whistle blower
adalah pelaporan dari sesama pegawai atau dari pihak yang berurusan
dengan pegawai, mengenai penyimpangan tugas. Terutama terkait kasus
korupsi.
Penyempurnaan SOP
Semiloka ini merupakan amanat Instruksi
Presiden nomor 17/2011, tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi Tahun 2012. Kementerian Hukum dan HAM, mendapat amanat untuk
menyusun dan menyempurnakan beberapa Standard Operating Procedure (SOP).
Seperti, SOP Pemberian Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, SOP Pengawasan
Internal dan Eksternal, SOP Perlindungan Whistle Blower, dan SOP
Pelayanan Informasi Pemasyarakatan.
Pembahasan dan perumusan SOP dalam
semiloka ini juga merujuk laporan masyarakat dan temuan kementerian,
atas praktik yang berjalan di lembaga pemasyarakatan maupun rumah
tahanan. "Harapannya, ada diseminasi dan pemahaman yang sama, soal SOP
di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan," kata Denny.
Selain soal indikator berkelakuan baik,
sebut Denny, standardisasi soal fasilitas hunian di lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan, juga akan dipertegas. Selain untuk
menghapus perbedaan di antara terpidana korupsi dengan terpidana kasus
pencurian, misalnya, pengaturan soal fasilitas terkait pula dengan
pembiayaan instansi pemasyarakatan tersebut.
Denny menambahkan, semiloka juga akan
menegaskan ulang SOP terkait tahanan yang sudah overstayed. Yaitu mereka
yang sudah habis masa tahanan di setiap level perkara, tetapi tidak
juga ada surat permohonan perpanjangan penahanan dari instansi yang
berwenang. "Harus dibebaskan demi hukum, kalau memang tak ada surat
perpanjangan masa tahanan," tegas Denny.
Agenda
Semiloka selama tiga hari dibuka Wakil
Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Dirjen
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Sihabudin, akan menjadi
pembicara kunci sebelum kegiatan dibuka.
Akan hadir pula beberapa narasumber lain
dalam kegiatan semiloka, seperti Staf Ahli Kepala UKP4, Yunus Husein.
Bersama mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) ini, dijadwalkan hadir pula kriminolog dari Universitas
Indonesia, Adrianus Meliala. Pembicara lain yang juga dijadwalkan hadir,
adalah Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Warih
Sadono.