Sabtu, 08 September 2012

No Pungli, No Cry

Oleh:
Denny Indrayana ;  Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM

Masih ingat lagu reggae Bob Marley, No Woman, No Cry – izinkan kali ini saya menggunakannya sebagai penanda bagi gerakan maha penting yang lain: No pungli, mengharamkan pungutan liar.
Pungli adalah salah satu bentuk paling klasik dari korupsi. Pungli hampir setali tiga uang dengan suap-menyuap. Perbedaannya, pada pungli pihak yang meminta tanpa malu-malu lebih aktif, lebih memaksa, lebih memungut. Sedangkan pada suap-menyuap, pihak yang memberi maupun menerima biasanya sama-sama aktif. Pada Kementerian Hukum dan HAM, upaya untuk memberantas suap dan pungli tak pernah berhenti dilakukan. Namun, harus diakui zona anti pungli masih perlu terus diperjuangkan secara lebih konsisten.

Khusus untuk pungli, masih ada dan terjadi pada sektor yang terkait dengan pelayanan publik. Paling tidak ada empat unit utama Kemenkumham yang masih rawan dengan praktik pungli: AHU (administrasi hukum umum), imigrasi, pemasyarakatan, dan HAKI (hak atas kekayaan intelektual). Perbaikan pelayanan di keempat unit utama tersebut telah terus dilakukan. Perbaikan kapasitas SDM (sumber daya manusia), pembenahan sistem termasuk pemanfaatan teknologi, serta peningkatan sistem pengawasan terus dilakukan. Maka, ruang penyimpangan, termasuk praktik pungli sebenarnya semakin sempit. Tetapi, di tengah-tengah ruang sempit itulah, pelaku pungli masih terus bertahan.


Membuat setiap upaya perbaikan yang dilakukan menjadi terkesan sia-sia. Nyaris setiap hari saya menerima pengaduan, utamanya lewat SMS dan Twitter, bagaimana pelayanan publik yang masih dibajak oleh praktik pungli. Maka itu, Menkumham Amir Syamsuddin dan saya, tidak pernah berhenti, terus berpikir, terus berikhtiar memberantas pungli. Arahan dan contoh terus kami berikan. Langkah-langkah awal Menkumham, misalnya, adalah melaporkan harta kekayaannya ke KPK dan mengeluarkan perintah agar tidak berlebihan memberikan pelayanan kepada kami—utamanya jika sedang melakukan kunjungan ke daerah.


Mungkin dianggap kecil, tetapi kebiasaan memberikan pelayanan akomodasi termasuk jamuan makan kepada kami—atau pejabat tinggi kementerian yang lain memang harus dihilangkan. Bukan saja karena pelayanan dan jamuan demikian tidak perlu, melainkan kebiasaan itu menjadi pintu masuk penyimpangan yang keliru. Anggaran pelayanan seperti itu tidak tersedia sehingga mengadakannya menyebabkan “akrobat” harus dilakukan. Muncullah upaya pengumpulan dana, mulai pemotongan honor atau gaji pegawai sampai upaya pembenaran pungli untuk dana operasionalisasi jamuan tersebut.


Maka itu, kepada semua kanwil dan unit kerja selalu kami ulangi, tidak boleh lagi memberikan jamuan dan pelayanan demikian. Sebaliknya, tidak boleh ada lagi pejabat Kemenkumham yang meminta pelayanan yang memberatkan wilayah, memicu penyimpangan dan akhirnya menjadi alasan untuk melestarikan pungli.


Zona anti pungli pada seluruh pelayanan AHU, terutama pendaftaran perusahaan, fiducia, notaris; wilayah antipungli pada seluruh pelayanan imigrasi, terutama yang sering dikeluhkan dalam pembuatan paspor; area antipungli pada seluruh layanan pemasyarakatan mulai jual-beli ruang sel, pungli uang kunjungan, hingga pungli jual-beli remisi dan hak warga binaan lainnya; zona antipungli pada seluruh layanan HAKI utamanya pendaftaran merek, hak cipta, dan paten adalah keniscayaan. Untuk itu, praktik percaloan dalam pelayanan publik juga tidak dapat ditoleransi.


Para calo itulah yang seringkali menjadi jembatan penghubung antara oknum pemungut pungli dan masyarakat penerima layanan. Untuk terus memberantas pungli dan praktik percaloan tersebut, berikut adalah beberapa langkah perbaikan sistem yang telah, sedang, dan terus dilakukan. Pertama, sumber daya manusia terus ditingkatkan kapasitasnya. SDM yang profesional adalah salah satu kunci utama sistem antipungli. Maka itu, mekanisme kepegawaian berdasarkan
merit system terus diperbaiki. Promosi akan diberikan sebagai bentuk reward atas prestasi, sebagaimana demosi adalah bentuk punishment.
Kepada unit kerja yang masih saja ditemukan praktik pungli, pelaku dan pimpinannya akan mendapatkan hukuman. Sebaliknya, unit yang berprestasi menerapkan zero tolerance atas pungli akan mendapatkan penghargaan.
Kedua, sistem pengawasan terus dilakukan dan ditingkatkan efektivitasnya. Model pengawasan oleh Inspektorat Jenderal tentu terus dilakukan, dengan perbaikan. Di luar model pengawasan yang internal-konvensional tersebut, model pengawasan eksternal yang inovatif juga harus dilakukan. Misalnya, dalam beberapa waktu terakhir, kami memaksimalkan Twitter untuk menerima pengaduan langsung dari masyarakat.

Di tengah masyarakat Indonesia yang banyak menggunakan jejaring sosial media, pengawasan berbasis teknologi demikian bukan saja murah, melainkan tidak jarang lebih efektif. Tentu saja setiap informasi dan pengaduan melalui Twitter harus diklarifikasi. Bukti-bukti awal diperlukan sebelum suatu informasi dinyatakan sebagai fakta atas telah terjadinya pungli. Namun, dengan pengawasan melekat oleh masyarakat demikian, setiap tahapan pelayanan publik di Kemenkumham dapat langsung dikirim tanpa hambatan ke akun Twitter saya atau Kemenkumham.


Apalagi secara teknologi, praktik pungli dapat diambil fotonya dan dikirimkan pula bukti gambarnya. Dengan sistem pengawasan yang
realtime demikian, CCTV boleh jadi tidak lagi diperlukan di setiap sudut pelayanan, perannya telah tergantikan dengan mata tajam masyarakat pengguna pelayanan publik itu sendiri.
Ketiga, seiring dengan pengawasan eksternal oleh masyarakat, sistem perlindungan bagi pelapor harus terus diperbaiki. Kepada pelapor tidak boleh ada tindakan sanksi yang merugikan, tetapi justru harus diberikan penghargaan. Laporan mesti dibuka ruang untuk disampaikan secara tertutup meski bukan berarti tanpa identitas. Kejelasan pelapor tetap penting agar menghindari fitnah. Namun, kejelasan demikian harus diiringi dengan perlindungan yang maksimal. Apalagi, tidak jarang pelapor bukan hanya dari masyarakat, melainkan juga dari internal kementerian sendiri. Pelapor internal demikian tentu perlu sistem pengamanan agar jenjang kariernya tidak justru terganggu karena memberikan informasi penyimpangan antipungli.
Keempat, untuk jangka panjang, pemberantasan pungli dilakukan dengan meletakkan sistem yang lebih antipungli. Maka itu, business process di setiap pelayanan publik akan terus direviu dan diperbaiki. Misalnya, untuk pelayanan pembuatan paspor, evaluasi terus dilakukan. Tahapan-tahapan pembuatan paspor terus dikaji ulang.Tahapan yang rawan dan membuka peluang pungli terus dicari, diidentifikasi dan dicarikan solusinya.

Evaluasi
business process tersebut penting agar SOP pelayanan dari waktu ke waktu terus dapat disempurnakan. Saya memberi apresiasi kepada unit kerja yang inovatif seperti membuka layanan SMS gateway,untuk mengetahui tahapan pembuatan paspor atau drop box tanpa antrean untuk memasukkan dokumen perpanjangan paspor. Terakhir sebelum menutup kolom ini, saya ingin berbagi informasi, Kemenkumham akan membuka penerimaan CPNS yang pengumumannya akan dipublikasikan awal Juli. Untuk itu dalam banyak kesempatan memberikan pengarahan, kepada semua jajaran Kemenkumham saya sampaikan, CPNS adalah singkatan dari “calon pegawai nihil setoran”.

Singkatnya, penerimaan pegawai sipil di Kemenkumham tidak akan lagi menoleransi berbagai bentuk suap dan setoran. Penerimaan hanya berdasarkan hasil tes murni. Dengan demikian, prosesnya akan berjalan baik dan hasil seleksi pegawai yang diterima juga yang terbaik. Untuk proses penerimaan CPNS ini, kami juga mengundang partisipasi dan pengawasan langsung dari masyarakat. Untuk Indonesia yang lebih baik, lebih bersih, praktik pungli tentu harus diberangus.
No pungli, no cry. Doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia. ●

Sejarah Singkat Pemasyarakatan

Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah ditetapkan dengan suatu sistem perlakuan terhadap  pelanggar hukum di Indonesia yang dinamakan dengan Sistem Pemasyarakatan.

Konsepsi awal secara formil dimunculkan oleh DR. Sahardjo, SH Menteri Kehakiman RI pada waktu itu, pada tanggal 5 Juli 1964, pada saat penganugerahan Doktor Honoris Causa : bahwa tujuan pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita karena dihilangkan kemerdekaan bergeraknya, juga untuk bertaubat, serta mendidik menjadi orang yang berguna, yang kemudian secara singkat bahwa tujuan pidana penjara adalah PEMASYARAKATAN.
Bersama Bahrudin Suryobroto, saat diadakan Konferensi Kepenjaraan di Lembang Bandung dari 27 April s/d 7 Mei 1964, disepakati bahwa : Pemasyarakatan bukan hanya tujuan pidana penjara, melainkan juga proses yang bertujuan memulihkan kembali kesatuan hubungan kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara individu terpidana dan masyarakat, (kemudian menjadi visi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan).
Pada tahun 1956, diadakan Konferensi Besar Jawatan Kepenjaraan di Sarangan Jawa Timur, yang memunculkan pemikiran-pemikiran baru mengenai tujuan pemidanaan yaitu menjadi anggota masyarakat yang berguna, tidak mengulangi kejahatan. Kejahatan tidak dilihat dari aspek individual semata-mata, tetapi juga dilihat dari aspek sosial dan lingkungannya.
Konsepsi ini merupakan momentum yang membedakan filosofi, proses dan tujuan pemidanaan, di Indonesia dengan masa sebelumnya. Pada masa itu (masa penjajahan dan kemerdekaan sampai tahun 1963), filosofinya untuk : pembalasan, penjeraan dan resosialisasi.
Konsekuensi dari pemikiran-pemikiran tadi, kemudian papan-papan nama : Kepenjaraan diganti menjadi Pemasyarakatan. Perubahan-perubahan tersebut diikuti dengan perubahan-perubahan yang berorientasi Pemasyarakatan :
Pembinaan luar lembaga, pembinaan dalam lembaga, model-model formulir dan register serta keikutsertaan kongres yang diselenggarakan PBB mengenai perlakuan para narapidana.

Diperlukan lebih dari 30 tahun baru muncul Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995.
Reglemen penjara sebagai pedoman, sedangkan konsepsi yang dipakai adalah Pemasyarakatan
Sehingga ada kelemahan terutama pada bidang-bidang politik legislatif maupun eksekutif
Sistem Pemasyarakatan didukung momentum secara parsial antara lain dibidang narapidana anak, dengan dibentuknya Direktorat Bispa Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Pada perjalanan selanjutnya ada kemajuan dibidang konsepsi Pemasyarakatan mengalami kemajuan terutama pada bidang perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.


Dengan adanya Undang Undang Pemasyarakatan ini maka makin kokoh usaha-usaha untuk mewujudkan visi Sistem Pemasyarakatan, sebagai tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.

Sambutan Kepala Rutan

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah Nya, s...