Selasa, 02 Oktober 2012

Implementasi UU Bantuan Hukum Harus Tepat Sasaran

Dalam melaksanaksn Implementasi UU 16/2011 tentang Bantuan Hukum, harus mewaspadai segala kemungkinan penyelewengan alokasi anggaran untuk biaya bantuan hukum yang diberikan. Baik dari aksi pilih-pilih pemberian layanan hukum, maupun pemanfaatan alokasi dana tersebut untuk kepentingan lain. "Jangan sampai, misalnya, pemberi bantuan hukum hanya mau ke daerah yang mendapatkan penggantian dana besar," kata Ketua Badan Pengurus YLBHI, Alvon Kurnia Palma, dalam diskusi bulanan Kementerian Hukum dan HAM. Antisipasi harus disiapkan, jangan sampai dinikmati pemberi bantuan hukum yang hanya berpretensi memanfaatkan dana.
Alvon juga mengingatkan, banyak lembaga bantuan hukum yang memiliki afiliasi dengan organisasi tertentu. Tak terkecuali dengan partai politik. "Jangan sampai juga, dana bantuan hukum justru menjadi 'bensin' politik," imbuh dia. Direktur Indonesian Legal Roundtable, Alexander Lay, mengakui detil penentuan mekanisme pengucuran dana untuk bantuan hukum belum rampung dibahas bersama Kementerian Keuangan. "Apakah at cost atau akan lumpsum, harus dipastikan akses keadilan terpenuhi merata," ujar dia. Harus pula ada mekanisme untuk memastikan pemberi bantuan hukum tak 'pilih kasih' memberikan bantuan hukum, dengan ancaman sanksi. Verifikasi yang ketat dan akuntabel atas calon lembaga pemberi bantuan hukum harus menjadi syarat. Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, menegaskan UU Bantuan Hukum merupakan bentuk politik hukum dan komitmen Pemerintah. "Untuk mendekatkan masyarakat dengan keadilan," ujar dia, dalam acara yang sama.


UU ini diharapkan dapat memberikan layanan hukum pada kaum marjinal, anak-anak, dan golongan lanjut usia. Mendekatkan hukum dan keadilan melalui UU Bantuan Hukum, akan berwujud bantuan hukum gratis bagi golongan tak mampu yang berperkara hukum. Saat ini Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sedang dikebut, sebagai pedoman teknis pelaksanaan UU 16/2011. Bersamaan, disiapkan juga instrumen penilaian dan pengawasan pemberian bantuan hukum. "Instrumen ini sangat krusial, agar tak terjadi penyimpangan pelaksanaan," ujar Denny. Anggota Komisi III DPR, Didi Irawadi, mengatakan sasaran dari UU 16/2011 adalah kalangan miskin. Definisi miskin memang gampang diperdebatkan. "Tapi, kita masih ingat kasus pencurian kakao, sandal, atau enam piring. Itu yang menjadi sasaran bantuan hukum dari UU ini," tegas dia. Kalangan miskin dalam UU 16/2011, kata Didi, bisa dimaknai sebagai mereka yang memang berkategori miskin menurut pemahaman ekonomi. Tapi, tambah dia, bisa juga dimaknai mereka yang tak punya akses untuk keadilan, atau mereka yang harus berhadapan dalam perkara hukum dengan perusahaan besar. Didi tak menampik, hambatan akan selalu ada. Tapi, sebagai upaya mendekatkan akses publik pada layanan hukum, UU 16/2011 tetap diharapkan punya dampak siginifikan. "(Tapi), jangan sampai menjadi alat untuk pencitraan. UU ini bukan untuk cari popularitas," tegas dia. YLBHI mencatat pada 2011 ada 3.700-an kasus yang membutuhkan pendampingan dengan biaya minimal bahkan cuma-cuma, melalui lembaga tersebut. Angka tersebut meningkat sekitar 400-an kasus dibandingkan tahun sebelumnya. Sokongan negara untuk para pemberi bantuan hukum, akan sangat bermanfaat bila penyelewengan bisa dicegah. Acara yang dilaksanakan Biro Humas dan KLN sekretariat Jenderal ini mengundang seluruh media cetak maupun elektonik juga portal.
 

Sambutan Kepala Rutan

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah Nya, s...