Dalam
melaksanaksn Implementasi UU 16/2011 tentang Bantuan Hukum, harus
mewaspadai segala kemungkinan penyelewengan alokasi anggaran untuk biaya
bantuan hukum yang diberikan. Baik dari aksi pilih-pilih pemberian
layanan hukum, maupun pemanfaatan alokasi dana tersebut untuk
kepentingan lain. "Jangan sampai, misalnya, pemberi bantuan hukum hanya
mau ke daerah yang mendapatkan penggantian dana besar," kata Ketua Badan
Pengurus YLBHI, Alvon Kurnia Palma, dalam diskusi bulanan Kementerian
Hukum dan HAM. Antisipasi harus disiapkan, jangan
sampai dinikmati pemberi bantuan hukum yang hanya berpretensi
memanfaatkan dana.
Alvon
juga mengingatkan, banyak lembaga bantuan hukum yang memiliki afiliasi
dengan organisasi tertentu. Tak terkecuali dengan partai politik.
"Jangan sampai juga, dana bantuan hukum justru menjadi 'bensin'
politik," imbuh dia. Direktur Indonesian Legal Roundtable, Alexander
Lay, mengakui detil penentuan mekanisme pengucuran dana untuk bantuan
hukum belum rampung dibahas bersama Kementerian Keuangan. "Apakah at
cost atau akan lumpsum, harus dipastikan akses keadilan terpenuhi
merata," ujar dia. Harus pula ada mekanisme untuk memastikan pemberi
bantuan hukum tak 'pilih kasih' memberikan bantuan hukum, dengan ancaman
sanksi. Verifikasi yang ketat dan akuntabel atas calon lembaga pemberi
bantuan hukum harus menjadi syarat. Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny
Indrayana, menegaskan UU Bantuan Hukum merupakan bentuk politik hukum
dan komitmen Pemerintah. "Untuk mendekatkan masyarakat dengan keadilan,"
ujar dia, dalam acara yang sama.
UU
ini diharapkan dapat memberikan layanan hukum pada kaum marjinal,
anak-anak, dan golongan lanjut usia. Mendekatkan hukum dan keadilan
melalui UU Bantuan Hukum, akan berwujud bantuan hukum gratis bagi
golongan tak mampu yang berperkara hukum. Saat ini Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) sedang dikebut, sebagai pedoman teknis pelaksanaan UU
16/2011. Bersamaan, disiapkan juga instrumen penilaian dan pengawasan
pemberian bantuan hukum. "Instrumen ini sangat krusial, agar tak terjadi
penyimpangan pelaksanaan," ujar Denny. Anggota Komisi III DPR, Didi
Irawadi, mengatakan sasaran dari UU 16/2011 adalah kalangan miskin.
Definisi miskin memang gampang diperdebatkan. "Tapi, kita masih ingat
kasus pencurian kakao, sandal, atau enam piring. Itu yang menjadi
sasaran bantuan hukum dari UU ini," tegas dia. Kalangan miskin dalam UU
16/2011, kata Didi, bisa dimaknai sebagai mereka yang memang berkategori
miskin menurut pemahaman ekonomi. Tapi, tambah dia, bisa juga dimaknai
mereka yang tak punya akses untuk keadilan, atau mereka yang harus
berhadapan dalam perkara hukum dengan perusahaan besar. Didi tak
menampik, hambatan akan selalu ada. Tapi, sebagai upaya mendekatkan
akses publik pada layanan hukum, UU 16/2011 tetap diharapkan punya
dampak siginifikan. "(Tapi), jangan sampai menjadi alat untuk
pencitraan. UU ini bukan untuk cari popularitas," tegas dia. YLBHI
mencatat pada 2011 ada 3.700-an kasus yang membutuhkan pendampingan
dengan biaya minimal bahkan cuma-cuma, melalui lembaga tersebut. Angka
tersebut meningkat sekitar 400-an kasus dibandingkan tahun sebelumnya.
Sokongan negara untuk para pemberi bantuan hukum, akan sangat bermanfaat
bila penyelewengan bisa dicegah. Acara yang dilaksanakan Biro Humas dan
KLN sekretariat Jenderal ini mengundang seluruh media cetak maupun
elektonik juga portal.