Ke mana Presiden kita? SBY di mana?
Akhir-akhir ini banyak pesan dengan isi senada menghiasi ruang
publik,mulai dari media cetak dan elektronik, media sosial, hingga SMS
dan BBM. Semuanya terkait dengan meruncingnya relasi KPK dan Polri.
Saya akan menjelaskan Presiden tidak ke
mana-mana. Presiden terus memantau dan berupaya mencari solusi terbaik
agar persoalan KPK dan Polri tidak makin meruncing dan kontraproduktif.
Memang tidak semua upaya Presiden tersebut dipublikasikan dan terbuka
untuk pemberitaan. Tidak jarang strategi komunikasi untuk mendamaikan
suasana justru kontraproduktif jika dipublikasikan.
Saya dapat saja diam dan tidak
mengungkapkan fakta tersebut karena pasti akan dituduh bersikap ABS.
Namun, saya memilih untuk menjelaskan apa adanya.Saya tidak boleh diam
dan hanya cari selamat misalnya demi citra di mata publik yang terus
mengkritisi Presiden. Padahal Presiden yang telah bekerja terus
mendapatkan cibiran dan perlakuan tidak fair di ruang publik.
Persoalan yang dihadapi KPK dengan
beberapa lembaga negara berulangkali terjadi. Ikhtiar pemberantasan
korupsi yang dilakukannya menyebabkan KPK tentu akan bergesekan dengan
oknum koruptif di beberapa institusi. Salah satu gesekan yang terjadi
beberapa kali adalah dengan Polri karena beberapa oknumnya terindikasi
melakukan korupsi. Ketika muncul persoalan terbuka antara KPK dan Polri,
dikenal dengan insiden "Cicak vs Buaya", Presiden langsung mengambil
langkah-langkah penyelamatan. Pada 2009, karena persoalan hukum, tiga
pimpinan KPK (Antasari Azhar, Chandra Hamzah, dan Bibit Samad Rianto)
tidak aktif.
Hanya ada dua pimpinan KPK yang masih
bertugas yakni M Jasin dan Haryono Umar. Maka itu, KPK nyaris tumbang.
Dalam situasi demikian, Presiden menyelamatkan nyawa KPK. Presiden
menerbitkan Perpu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan UU KPK yang
memungkinkan diangkatnya pimpinan KPK sementara. Maka itu, kehadiran
Tumpak Hatorangan Panggabean, Waluyo, dan Mas Achmad Santosa kembali
menyambung napas KPK yang kembang kempis.
Sangat jelas Presiden mengklasifikasikan
KPK yang hanya dipimpin dua orang adalah "kegentingan yang memaksa"
sehingga perpu wajib diterbitkan. Selanjutnya, untuk menyelesaikan
persoalan hukum Chabit (Chandra dan Bibit), Presiden membentuk Tim
Independen Verifikasi Kasus (Tim 8)—di mana saya menjadi sekretaris
timnya. Rekomendasi kami agar kasus Chabit tidak dibawa ke pengadilan
diterima Presiden. Akhirnya kasus Chabit ditutup dengan pengesampingan
perkaranya oleh Jaksa Agung (deponeering).
Saya ingat persis ketika pamit akan naik
haji pada 2010, sambil membawa usulan agar kasus Chabit dihentikan
dengan deponeering. Tanpa berpikir lama, Presiden menyetujui usulan saya
tersebut dan akhirnya disetujui dan dilaksanakan pula oleh Jaksa Agung.
Penyelamatan KPK tidak hanya dengan menyelamatkan para pimpinannya dari
persoalan hukum, tapi juga dari pelemahan regulasinya. Sudah pernah
saya sampaikan, ketika pada 2009 di DPR membahas RUU Pengadilan Tipikor,
berkembang pula wacana untuk mengurangi dan membatasi kewenangan
strategis KPK, utamanya dengan menghilangkan penuntutan dan mewajibkan
izin sebelum penyadapan.
Menghadapi rencana demikian, Presiden dalam sidang kabinet terbatas
menyampaikan arahan yang jelas kepada Menkumham kala itu, selaku wakil
pemerintah, bahwa pemerintah menolak proposal rumusan demikian. Presiden
menegaskan ingin KPK tetap efektif bekerja dan karena itu menolak jika
kewenangan strategis KPK dilucuti. Dengan beberapa contoh di atas,
menjadi tidak fair mengatakan Presiden tidak hadir ketika KPK
dilemahkan. Dalam contoh di atas, Presiden justru berperan aktif
menyelamatkan KPK.
Kalaupun Presiden tidak langsung muncul,
itu karena memang beberapa tindakan diperintahkan dilakukan oleh
Menkopolhukam, menteri kabinet, atau saya sendiri. Ada pula yang
mengkritisi dengan membandingkan cepatnya Presiden merespons video
Ariel.Suatu perbandingan yang keliru. Berita tanggapan Presiden atas
video Ariel disampaikan Presiden karena menjawab pertanyaan wartawan di
Istana Cipanas. Saya tahu persis karena saat itu saya juga ikut hadir
dalam forum tanya jawab tersebut. Saat itu Presiden memang membuka ruang
tanya jawab dan mempersilakan wartawan menanyakan beberapa isu-isu
aktual, yang langsung beliau jawab.
Karena itu, ketika Presiden malam tadi
menegaskan lima kebijakannya yang pada dasarnya menyelamatkan lagi
agenda pemberantasan korupsi, termasuk pula menguatkan KPK, bagi saya
itu konsisten dengan sikap Presiden selama ini. Saya tahu persis pilihan
sikap Presiden karena dalam beberapa waktu terakhir berdiskusi intens
dengan Presiden untuk perumusan pidato beliau tadi malam. Dimulai ketika
saya hadir di KPK sejak Kamis malam hingga Jumat dini hari kemarin,
ketika Novel Baswedan dikabarkan akan ditangkap Polri.
Saya, yang diminta hadir ke KPK oleh
Menkopolhukam dan Busyro Muqoddas, malam itu mengirimkan laporan kepada
Presiden melalui SMS. Jumat pagi Presiden menelepon saya dan
menyampaikan beberapa pandangan beliau, yang kemudian ditegaskan lagi
pada pertemuan langsung sore harinya. Dengan bermodal arahan Presiden,
riset dan masukan dari beberapa teman, sejak Sabtu hingga Senin dini
hari saya menyiapkan masukan kepada Presiden. Alhamdulillah, tentu
setelah menerima pandangan dari beberapa pihak, Presiden memutuskan lima
hal yang sejalan dengan masukan yang saya tuliskan dalam legal
memorandum.
Beberapa kalangan mengirim pesan,
mengapresiasi pidato Presiden tadi malam. Terima kasih, ingin saya
sampaikan, saya hanya kurir yang menyampaikan pesan publik anti korupsi
kepada Presiden, yang juga sudah memahaminya dan mengetahuinya. Presiden
SBY menegaskan bahwa: Pertama, penanganan kasus simulator menjadi
kewenangan tunggal KPK.
Dalam pertemuan siang hari sebelumnya,
Presiden telah bertemu Kapolri dan pimpinan KPK, serta menegaskan kepada
Kapolri bekerja sama dan hasil penyidikan simulator diserahkan kepada
KPK. Kedua, Presiden menyampaikan akan mengatur soal penyidik KPK dari
instansi lain agar dapat bekerja empat tahun, tanpa ditarik di tengah
masa kerjanya. Ketiga, Presiden mengkritik penanganan kasus Novel
Baswedan yang tidak tepat timing dan caranya. Keempat, Presiden menolak
rencana perubahan UU KPK yang berpotensi melemahkan KPK.
Kelima, yang terakhir, Presiden
menyarankan agar nota kesepahaman disempurnakan untuk meningkatkan
sinergi dan kerja sama pemberantasan korupsi antara KPK, Polri,dan
kejaksaan. Kelima arahan dan solusi yang disampaikan Presiden tersebut
sudah jelas kembali memberikan "angin segar" bagi pemberantasan korupsi,
termasuk menguatkan peran dan fungsi KPK. Tentu dengan tetap menjaga
agar institusi Polri (dan kejaksaan) tetap dihormati serta juga
diselamatkan.
Dalam pemberantasan korupsi tentu kita
butuh KPK yang semakin kuat dan Polri yang semakin bersih. Terima kasih
Presiden SBY. Mari, terus berjuang untuk Indonesia yang lebih baik,
Indonesia yang antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia. ●
DENNY INDRAYANA
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Guru Besar Hukum Tata Negara UGM