Di mana bersembunyi, ke mana pun
berlari, apa pun kewarganegaraannya: Koruptor tetaplah koruptor. Itulah
salah satu pesan inti yang ingin ditegaskan melalui lokakarya
internasional yang kemarin dan hari ini dilaksanakan oleh KPK di
Yogyakarta.
Hadir berbagai perwakilan negara
sahabat, terutama dari ASEAN. Saya mewakili Menkumham memberikan keynote
speech dalam pembukaan acara tersebut.Berikut adalah beberapa pokok
pikiran yang saya sampaikan dalam pidato kunci tersebut. Tidak kita
ragukan lagi, korupsi adalah kejahatan luar biasa,kejahatan kemanusiaan.
Sehebat apa pun peradaban kemanusiaan, ia dapat luluh lantak oleh
perilaku koruptif yang memang sangat destruktif. Maka itu, menghadapi
kejahatan yang sedemikian dahsyat daya rusaknya, tidak ada kekuatan lain
yang paling efektif,kecuali terus berikhtiar untuk melawannya secara
bersama- sama.
Saya sependapat dengan J Edgar Hoover,
direktur FBI, yang pernyataannya terukir di dinding markas besar FBI:
"The most effective weapon against crime is cooperation". Karena itu,
masyarakat dunia tanpa henti harus terus menguatkan kerja sama
internasional melawan korupsi.Masyarakat dunia telah memancangkan
beberapa tonggak di antaranya United Nations Convention Against
Corruption, the G-20 Anti-Corruption Action Plan, dan the Organization
of Economic Cooperation on Combating Bribery of Foreign Policy Public
Officials in International Business Transactions.
Globalisasi menyebabkan perbatasan
antarnegara semakin kabur.Perlintasan orang dan barang semakin cepat.
Tidak ada pilihan lain, kerja sama internasional harus ditingkatkan
untuk mencegah bersembunyi dan larinya para koruptor dan lenyapnya
asetaset hasil korupsinya. Saya sangat setuju dengan apa yang
disampaikan Ketua KPK Abraham Samad dalam sambutannya membuka lokakarya:
"Tidak boleh ada satu tempat pun,yang aman bagi koruptor di muka bumi
ini. Dengan kerja sama antarnegara, kita harus pastikan tidak ada satu
negara pun yang menjadi surga bagi koruptor dan aset hasil jarahannya".
Meskipun harus diakui pula, faktanya,
kerja sama internasional masih harus ditingkatkan efektivitasnya,
khususnya terkait masalah perjanjian ekstradisi, perjanjian transfer
orang yang sudah dihukum,dan perjanjian bantuan timbal balik dalam
masalah pidana. Dalam pelaksanaan mutual legal assistance misalnya
seringkali muncul persoalan karena tiga hal utama yaitu: 1) perbedaan
sistem hukum antarnegara; 2) ketidakjelasan mekanisme pelaksanaannya;
dan 3) perbedaan struktur organisasi pemerintahan dari negara yang
terlibat perjanjian tersebut.
Namun, pendekatan yang terlalu formal,
berbasis perjanjian, seringkali memakan waktu karena harus taat hukum,
wajib taat prosedur, dan mesti dalam kerangka kerja diplomatik yang
ketat. Maka itu,selalu harus terus dibuka pendekatan yang lebih informal
untuk mengantisipasi pergerakan pelarian koruptor dan asetnya yang
sangat cepat. Pendekatan informal demikian tentu saja harus berbasis
pada hubungan baik dan saling percaya antarnegara yang bekerja sama.
Untuk membangun relasi yang akrab
demikian, pembuatan MoU bisa menjadi salah satu pembuka jalan yang tidak
terlalu rumit,namun cukup efektif untuk membangun kesepahaman,
khususnya dalam upaya bersama memberantas kejahatan transnasional,lebih
khusus lagi dalam melawan korupsi. Saat ini Indonesia telah bekerja sama
dengan beberapa negara yang didasarkan pada hubungan baik dan prinsip
resiprositas. Sambil, pada saat yang sama,proses formal untuk
penandatanganan dan ratifikasi perjanjian ekstradisi, perjanjian MLA,
ataupun perjanjian transfer nara pidana terus dilakukan.
Akhir-akhir ini melalui perpaduan
pendekatan formal dan informal tersebut, Indonesia memiliki beberapa
cerita sukses untuk mengembalikan beberapa buron kasus korupsi yang
telah lari ke luar negeri. Sebutlah misalnya penangkapan Gayus Tambunan
di Singapura, Nazaruddin di Kolombia, ataupun Nunun Nurbaetie di
Thailand. Padahal, seringkali secara sengaja, negara yang dipilih sang
buron koruptor adalah negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi
ataupun perjanjian MLA dengan Indonesia.
Namun, karena pendekatan yang dilakukan
tidak hanya formal,sang buron dapat ditangkap dan dapat dengan lebih
cepat dikembalikan ke Indonesia. Kita menyadari dalam melakukan
penegakan hukum, kepastian hukum harus dijunjung tinggi. Namun, kita
juga memahami, kepastian hukum yang terlalu kaku, terlalu formal, justru
akan menghambat keadilan hadir.Dalam konteks kerja sama internasional
antikorupsi, pendekatan formal semata, yang menutup sama sekali
pendekatan hubungan baik, justru akan menjadi lubang hukum yang sangat
mewah bagi koruptor untuk terus berlari dan terus menyembunyikan uang
hasil korupsinya.
Maka itu, dunia internasional harus
meningkatkan kesepahaman bahwa komitmen tegas dalam memberantas korupsi
harus dilaksanakan tidak hanya dengan taat pada prosedur dan birokrasi
hukum yang ketat, tetapi juga harus terus mengingat bahwa tujuan akhir
kerja sama internasional ini adalah para koruptor tidak dapat lagi
leluasa bersembunyi di balik kerumitan hukum internasional.Agar harta
hasil korupsi tidak lagi cepat raib melalui kecanggihan transaksi
keuangan antarnegara, yang tidak lain merupakan praktik haram tindak
pidana pencucian uang.
Berbicara tindak pidana pencucian uang
mengingatkan kita bahwa hal lain yang perlu juga dikerjasamakan secara
erat dan tulus adalah perampasan kembali aset hasil kejahatan. Tidak
jarang mengembalikan aset hasil korupsi jauh lebih sulit dibandingkan
penangkapan pelaku kejahatan itu sendiri. Hal itu tidak lain karena
semakin mudahnya aset dipindahkan dan disembunyikan dengan berbagai
rekayasa hukum bisnis yang kompleks, yang tentu saja berkait erat dengan
tindak pidana pencucian uang.
Maka itu, kerja sama internasional yang
mengantisipasi berbagai modus kejahatan yang memanfaatkan sistem
kerahasiaan perbankan, menyalahgunakan berbagai fasilitas perpajakan,
ataupun merekayasa berbagai transaksi keuangan pasar saham dan pasar
modal. Setiap negara perlu meningkatkan ekonominya melalui daya tarik
investasi. Namun, pada saat yang sama,kita wajib memastikan, investasi
yang ditanamkan di negara kita masing-masing bukanlah aset hasil jarahan
atau uang hasil korupsi, yang sengaja dicuci melalui sistem keuangan,
sistem perbankan internasional.
Harus dibangun sistem kewaspadaan
internasional yang menolak investasi berdasarkan aset dan uang hasil
kejahatan, apalagi hasil korupsi. Uang hasil korupsi tidak boleh menjadi
bibit investasi. Seberapa besar pun investasi harus dapat dipastikan
bersumber dari uang yang bersih,dari hasil usaha yang tidak terkait
dengan kejahatan. Jika investasi berasal dari korupsi, akan sangat sulit
bagi negara asal mana pun, tempat uang itu dijarah,untuk
menyelamatkannya kembali.
Investasi yang berasal dari korupsi
adalah salah satu cara paling efektif untuk melakukan pencucian uang
hasil kejahatan, dan akan memakan waktu sangat lama untuk
mengembalikannya kepada negara dan rakyat yang menjadi korban kejahatan
tersebut. Akhirnya, koruptor harus terus dikepung di mana pun dia
bersembunyi, baik dalam hutan belantara hukum nasional maupun
internasional.
Di mana pun berada, koruptor tetaplah
koruptor. Kita dapat melawannya dengan senjata paling utama: kerja sama
yang terus diperbaiki dan kerja sama tanpa henti. Mari terus berjuang
bagi dunia dan Indonesia yang lebih baik,yang lebih antikorupsi. Doa and
do the best.Keep on fighting for the better Indonesia.
DENNY INDRAYANA
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Guru Besar Hukum Tata Negara UGM